R A F F A + E V A N : Chapter 15


Chapter 15
Semalam Bersama Alex



Siang ini setelah gua makan siang bersama Evan dan Alex, kita bertiga lantas ngobrol-ngobrol sebentar sebelum mendadak kita termotivasi buat nonton. Sekitar jam 3 sore akhirnya kita pergi keluar untuk nonton, kata Evan ada film bagus di bioskop. Setelah selesai nonton, yang ternyata durasi filmnya 2,5 jam, kita keliling-keliling EX Plaza sebentar dan berakhir nongkrong di salah satu restoran di sana.

Sekitar jam delapan kita berdua akhirnya kembali ke kosan.

“Gua mandi duluan yak.” Kata Evan begitu tiba di rumah. “Badan gua lengket-lengket nih.”

Evan lantas langsung mengambil handuk dan menghilang dari kamar. Alex melepas kaosnya dan tidur-tiduran di kasurnya Evan. Sementara gua tidur-tiduran di kasur gua dengan pikiran menerawang.

“Apa kabar lo?” Alex bertanya.

“Baik, bang.” Gua menjawab seadanya.

“Halah, nggak usah bohong lo sama gua. Gua bisa liat dari muka lo, kalo elo kaya lagi punya masalah.” Kata Alex. “Ada apaan? Cerita aja sih, gua kan abang lo, Raff.”

Gua menarik nafas sejenak, dan begitu gua mencoba mengingat kembali tentang masalah gua dengan Gadis, rasa galau gua mendadak mulai muncul.

“Gua putus sama Gadis, bang.”

Alex langsung menatap gua. Ia kemudian merubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi menyamping dengan kepala ditopang tangan kirinya.

“Elu putus sama Gadis?!”

Gua mengangguk lemah.

“Kenapa?”

“Yaaa, kita berdua udah nggak ada kecocokan lagi.”

“Masa ah.” Alex tampak sangsi dengan jawaban gua. “Elu bikin salah kaliiii?”

“Yaaa, itu juga termasuk sih, gua sering nggak nepatin janji gua.”

Alex kemudian bangkit dan beranjak duduk disebelah gua serta memeluk gua dari samping.

“Hahaha... elu tuh ya. Makannya jadi orang jangan terlalu sibuk.”

“Tapi si Gadisnya belakangan ini sering marah-marah mulu sama gua. Sekarang jadi emosian orangnya.” Gua mencoba membela diri, masih merasa kalo putusnya hubungan gua dengan Gadis bukan sepenuhnya salah gua. “Kemaren malah gua ngeliat dia jalan sama cowok lain. Padahal baru beberapa hari gua putus sama dia.”

“Lo yakin tuh cowok barunya? Lo udah tanya sama dia?”

“Eeeem... belom sih, tapi udah keliatan lah dari tingkah lakunya. Mereka jalan berdua sambil peluk-pelukan.”

“Hahahah... adek gua ini.” Alex mengacak-ngacak rambut gua. Sesuatu yang gua kangenin dari Alex, gua seneng rambut gua dielus-elus atau diacak-acak sama Alex. Karena gua benar-benar merasa dia menyayangi gua. “Elu tuh ya, jangan terlalu cepat ngambil kesimpulan.”

“Ah enggak ah, gua ngerasa dia udah bisa ngelupain gua.”

“Oke, kayanya kegalauan lo udah mulai memanipulasi logika lo. Woy, berpikir jernih woy!”

“Mau gimana lagi bang, gua setres, depresi. Gua masih nggak bisa nerima kenyataan kalo gua sama Gadis udah nggak pacaran lagi.”

“Hahaha... Raffaaaaa-Raffa, kalo elu emang jodoh sama dia mah, dia pasti bakalan balik lagi.” Alex berusaha bijak. “Elu jalanin aja hidup lo kaya biasa. Nggak usah dipikirin terus masalah ini, karena ini Cuma bakalan nyakitin perasaan lo aja, elo bakalan nggak ada semangat hidup.”

Gua terdiam mencerna itu semua.

“Elu nggak bisa ngelupain dia, itu karena elu udah begitu lama bareng sama dia. Butuh waktu untuk bisa ngelupain dia, tapi akan ada saat di mana elu bakalan bahagia. Dan kalo emang si Gadis itu jodoh lo, Tuhan pasti bakalan mempertemukan kalian lagi.”

“Ya-ya...” gua memberikan tanggapan seadanya.

“Udah, lu jangan galau lagi.”

Lima menit kemudian Evan kembali dari kamar mandi dalam keadaan segar dan wangi sabun. Dia datang hanya mengenakan handuk saja. Begitu masuk ia langsung melepaskan handuknya dan telanjang sebelum kemudian mengenakan celana pendek dan kaos.

“Elu mandi duluan Raff, ntar gua terakhir aja, masih pengen nyantai dulu gua nih.” Kata Alex, yang kembali tiduran di kasur gua.

“Ya udah.” Gua bangkit berdiri dan menanggalkan pakaian gua hingga tersisa boxer doang. Sejenak gua melihat abang gua yang sedang tidur-tiduran dengan mata terpejam di kasur gua. Kedua tangannya menopang kepalanya memperlihatkan bulu-bulu ketiaknya, menyempurnakan penampilan tubuhnya yang atletis. Disisi lain gua melihat Evan yang hanya bercelana pendek dan berkaos menatap Alex dengan tatapan aneh. Gua takut Alex bakalan dicaplok juga sama si Evan. Segala hal bisa terjadi selama gua mandi nanti. Kemungkinan terburuknya adalah begitu gua kembali Evan sudah sedang menghisap penis Alex. Aduuuh, jangan sampai dah...

Akhirnya dengan agak ragu gua pergi meninggalkan kamar kos menuju kamar mandi. Gua mandi dengan pikiran bermacam-macam mulai dari kegalauan sampai apa yang sedang terjadi di kamar kos gua saat ini. Lalu setelah sepuluh menit gua mandi akhirnya gua mengeringkan badan dan berjalan kembali ke kamar gua.

Tuh kan bener! Si Evan emang nggak bisa ngeliat cowok ganteng nganggur. 10 menit gua tinggalin dan sekarang dia sudah sedang memijit punggung abang gua. How?!

“Aaaah, enak banget, Van. Keatasan dikit.”

“Yang ini bang?” si Evan memindahkan tangannya kepunggung dekat pundak kanan Alex.

Gua menganga. Cepat sekali! Hanya dalam waktu 10 menit si Evan sudah berhasil menggerayangi punggung Alex. Apa yang terjadi kalo gua tinggalin mereka berdua lebih dari 1 jam? Bisa-bisa sperma Alex berpindah dari testikel Alex ke dalam mulut si Evan. Who knows? Evan gitu loh.

Gua menutup pintu dan pergi ke lemari pakaian.

“Wah, udah selesai lo Raff.” Kata Alex sambil berbalik badan. “Si Evan manteb banget nih pijitannya.”

“Oh iya, gua juga udah pernah ngerasain kok, bang. Emang manteb pijitannya.” Evan tampak sumringah gua puji-puji begitu. “Beberapa waktu lalu pas gua pegel-pegel dipijit sama Evan. Hasilnya mantab!”

“Oh ya? Keren dong, besoknya gimana? Enakan?” tanya Alex, sementara Evan sudah tersenyum kepedan.

“Besoknya gua sakit.”

Muka Evan berubah kecut. Alex kemudian tertawa kecil sambil bangkit berdiri dan siap-siap untuk mandi. Dia memijam handuk gua dan pergi ke kamar mandi.

Gua menatap Alex keluar kamar sampai ia menghilang dari balik pintu. “Van, lu awas ya sampe ngejerumusin abang gua.”

“Apaan siiiiih? Gua Cuma mau mijit dia doang kok. Abis gua agak kasihan, dia sempet ngeluh badannya pegel-pegel. Gua tawarin mijit, dia mau. Ya udah deh, kejadian.”

“Tapi gua serius Van. Abang gua tuh cowok normal, cowok baik-baik.”

“Lo kan juga dulunya cowok normal, cowok baik-baik. Tapi buktinya elu mau juga.”

“Ya udah, biarin gua aja yang lo rusak, asal jangan abang gua.” Kata gua.

“Ah lebay lo ah.” Kata Evan.

Gua pun beranjak dari kasur Evan dan menuju kasur gua. Kita berdua saling diam. Alex kembali kira-kira 15 menit kemudian.

“Raff, cewek yang rambut lurus sebahu yang tadi gua temuin siapa namanya, Raff?” tanya Alex sambil menutup pintu kosan.

“Rambut sebahu?” oh gua tau. “Namanya Misca, bang. Kenapa?”

“Iya, cantik juga ya orangnya. Tadi sempet ngobrol sebentar sama dia pas gua baru selesai mandi. Gua pinjem baju lo ya Raff.” Alex menurunkan celana jeansnya dan menampilkan celana dalam segitiga merek Calvin Klein-nya. Gua menoleh sebentar menatap Evan yang melihat Alex dengan tatapan penuh nafsu. Terutama tonjolan celana dalamnya.

“Oh iya-iya. Emang cantik kok bang orangnya.”

“Cuma orangnya suka kegatelan kalo liat cowok keren, bang.” Evan melanjutkan, yang tanpa sadar ia juga sedang menjelaskan sifatnya sendiri, hahaha...

“Oh ya, hahaha... pantes aja tadi dia ngobrolnya semangat amat. Ampe megang-megang badan gua lagi.”

“Oh ya?” Evan menanggapi cepat.

“Iya, perut gua dielus-elus, lengan atas gua diremes-remes, dada gua ditoel-toel. Katanya bagus, hahaha...” Alex mengatakan hal tersebut seolah apa yang barusan dia alami sering sekali dia alami sebelumnya.

“Terus, abang bales ngelus-ngelus, remes-remes sama toel-toel dia juga nggak?” tanya gua.

“Ya enggak lah, hahaha... bisa khilaf gua nantinya.”

Alex kini sudah berpakaian celana selutut dan kaos hitam lengan pendek.

“Cari makan yuk.”

“Boleh.” Kata gua.

Dan kita bertiga keluar meninggalkan kamar kos.


Kita akhirnya kembali ke rumah kira-kira satu jam kemudian. Alex langsung pergi ke kamar mandi, entah apa gerangan yang terjadi sama dia, ketika dia tiba-tiba merasa mules-mule dan langsung melesat ke kemar mandi begitu kita kembali ke kosa.

“Raff, gua kira sepertinya gua harus merevisi, atau bahkan merubah nama panggilan gua ke elo.” Kata Evan sambil melepas kaosnya.

“Oh thank god!” Gua merasa lega luar biasa, akhirnya gua berhenti dipanggil hyung sama si Evan. Nama panggilan yang aneh.

“Gua merasa panggilan hyung itu terlalu istimewa buat lo.” Kata Evan sok bijak dan sok benar.

“Haaaah...” Kebahagiaan gua sedikit luntur. Dan begitu si Evan mengucapkan alasannya, entah mengapa gua merasa sedikit menyesal tidak dipanggil hyung lagi.

“Nama panggilan terbaru dan paling fresh akan gua umumkan ketika gua menemukannya.”

“Wow, can’t wait.” Sindir gua.

“Lo nyindir gua ya?”

“Ah enggak. Gua merasa nggak sabar aja sama nama barunya.” Gua ngeles.

Evan terus menatap gua dengan tatapan menyelidik. Gua memasang wajah lugu :p


“Pengalaman seks pertama gua?” Kata Alex, dia akhirnya kembali setengah jam kemudian. Pertempuran pencernaan pasti sengit banget di WC, hahaha. “Pasti si Raffa udah tau, soalnya gua udah pernah cerita.”

Gua mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh arti.

“Gua pertama kali ngeseks itu waktu gua awal kuliah. Semester satu.” Kata Alex. “Gua main sama temen kuliah gua sendiri.”

“Wuiiih, mantab! Nggak pake pacaran, nggak pake bayar ya bang ya.” Kata Evan terkesima.

“Hahaha... iya, itu tuh yang namanya friend with benefit. Ada kali lebih dari 20 kali gua ML sama dia.”

“Gimana bang rasanya pertama kali ML sama cewek?”

“Wuaaaah, deg-degan, Van. Serius dah, gua malu-maluin banget dah. Nervous abis! Yang masangin kondomnya aja dia, hahaha... trus dia yang nuntun peler gua ke lobang yang benar, trus dia yang ngajarin teknik-tekniknya.”

Gua dan Evan tertawa mendengarnya, Abang gua memang agak lugu soal ML waktu dulu.

“Dia tuh, guru seks gua waktu itu. Tapi pas ML ketiga gua udah mulai lancar, udah gak perlu ajaran dia lagi. Hahaha...”

“Terus, sampai sekarang ini udah berapa cewek yang pernah tidur sama abang?” Evan masih bersemangat menggali cerita soal kehidupan seksnya Alex. Mungkin dia berharap bisa menemukan cerita pengalaman seks Alex dengan sesama jenis.

“Waaaah, udah berapa ya... lebih dari 10 kali.” Jawab Alex.

“Tapi ada satu yang nggak bakalan pernah gua lupain.”

“Waktu main sama siapa, bang?” tanya Evan.

“Ama cowok.”

JDERRR! Mata gua mendadak melotot terkejut. Oh shit! Alex pun juga sudah pernah main sama cowok! Wajah Evan memang tampak terkejut, tapi gua bisa melihat ada aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Ini bukan pertanda baik. Jelas sekali!

“Elu pernah ML sama cowok, bang?!” gua bertanya, masih tidak percaya akan kenyataan tersebut.

“Eits, tenang duluuu... jadi gini. Kejadiannya waktu gua masih tinggal dia US. Dia kantor tempat kerja gua, gua punya temen cowok dan kita sering hang out bareng. Suatu ketika pas malam Minggu, gua sama dia nggak ada kegiatan. Akhirnya kita berdua Cuma nongkrong aja di apartemennya dia. Kita tiba-tiba kepikiran buat nonton bokep bareng. Nah, pas ditengah-tengah film, kita berdua udah Horny banget deh. Tiba-tiba kepikiran tuh saling kocok penis lawan. Awalnya sih begitu, tapi entah kenapa tiba-tiba temen gua nawarin buat ngisep kontol gua! Gua awalnya nolak, tapi akhirnya mau juga. Akhirnya dihisaplah peler gua sama dia. Abis itu peler gua dikocok sampai keluar peju gua.”

“Trus-trus?” gua masih penasaran.

“Ya, abis itu gua gantian.”

“Elo ngisep punya dia juga bang?” gua bertanya dengan wajah syok dan merasa suram.

“Enggak lah, mana mau gua. Gua Cuma ngocokin doang sampai keluar pejunya.” Kata Alex. “Cuma itu dia, setelah itu kita berdua jadi garing. Dan berjanji nggak bakalan pernah mau begituan lagi.”

“Buseeet, kok mau sih bang diisep sama cowok?” tanya Evan.

“Ya, waktu itu udah horny banget gua. Ada yang nawarin ngisep, ya nggak gua tolak. Cuma itu pertama dan terakhir aja gua ngalamin diisep sama cowok. Nggak mau lagi deh gua. Aneh soalnya.”

“Aneh gimana?” Evan masih semangat bertanya.

“Aneh aja, cowok tuh harusnya sama cewek. Kita diciptakan berpasang-pasangan antara cowok dengan cewek. Masa jeruk makan jeruk.”

“Elo homophobia dong, bang?” tanya gua.

“Nggak juga sih, gua menghormati keberadaan mereka. Tapi Cuma sebatas itu aja, gua nggak mau lebih dari itu, apalagi sampe mengalami ML sama mereka.”

Kini Evan terdiam, sementara gua merasakan sedikit kelegaan pada diri gua. Hahaha, mampus lo Van, nggak ada kesempatan buat nyaplok abang gua, hahaha... mampus-mampus-mampus!

“Dulunya sih gua emang homophobic, Cuma sekarang gua udah menerima dan menghargai keberadaan mereka.”

“Lah, emang kenapa bang?” Tanya gua.

“Itu bermula dari pengalaman temen gua yang juga homophobic, dia malah lebih parah dari gua. Benci setengah mati sama kaum homo. Kalo dia ada kenal gay, pasti dikatain mulu, dimusuhin mulu. Intinya dia pengen ngebasmi kaum homo di muka bumi.”

“Terus?”

“Sampe suatu ketika dia mendapat karma.” Kata Alex. “Ade kandungnya sendiri tuh seorang maho! Dan saat itulah dia merasa seolah dunia runtuh. Dia ngerasa kaya ditabok berkali-kali, pas tau kalo adik satu-satunya yang dia sayangin adalah seorang gay.”

“Trus-trus?” Tanya Evan

“Awalnya temen gua ini marah banget sama adeknya, bahkan sempet lose contact sama adeknya selama setahunan. Namun akhirnya dia mau menerima keadaan adeknya, karena pada akhirnya Cuma adeknya aja orang yang bisa ia sayangin setelah kedua orang tuanya. Nggak mungkin lah selamanya dia membenci dan memusuhi adik kandungnya sendiri, ya kan?!”

Gua dan Evan mengangguk-angguk setuju. Alex kembali melanjutkan.

“Dan semenjak itu temen gua, walaupun masih homophobic, tapi udah bersikap biasa aja. Udah gak ngata-ngatain lagi. Dan gua juga semenjak tau itu mulai bersikap netral. Gua mulai terbuka dan menerima keberadaan kaum gay. Soalnya gua gak mau kena karma kaya dia. Gua gak mau bernasib sama kaya dia. Punya adek gay, beuh, amit-amit dah.”

Alex yang merasa kehausan beranjak menuju dispenser dan mengambil segelas air minum. Sementara gua dan Evan saling berpandangan penuh arti.

“Ntar gua tidur ama lo ya Raff. Gua udah lama nggak tidur bareng lo.” Kata Alex disela-sela minumnya.

“Oke, bang!” gua mengangkat jempol gua. Lalu mulai bercerita ke Evan. “Gua tuh dulu sering banget tidur berdua ama abang gua.”

“Lebih tepatnya lagi, dulu tuh si Raffa sering banget gua jadiin bantal guling, hahaha...”

Mendadak terdengar bunyi ketukan dipintu. Evan secara naluriah berjalan ke pintu dan membukanya. Tampaklah Misca.

“Oh maaaay...!” reaksi pertama Misca begitu pintu terbuka dan memperlihatkan tiga cowok seksi yang hanya mengenakan celana pendek saja.

“Ada apaan?”

“Nih Van, indomie pesenan lo.” Kata Misca sambil memberikan dua bungkus indomie goreng.

“Hah? Perasaan gua nggak minta indomie deh ke elo.” Kata Evan bingung.

“Ah pura-pura lupa lo. Nih pegang!” Misca kemudian nyelonong masuk ke dalam. “Lagian gua juga mau pinjem spidol warna lo, gau mau bikin mind map soalnya. Eh ada kamu,” Misca pura-pura baru menyadari Alex. “Kamu kok kamu di sini?”

“Saya abangnya Raffa.” Kata Alex sambil tersenyum manis. “Oh ya, kita belum kenalan. Saya Alex.”

“Miscaaaa...” Misca menyambut tangan Alex sambil tersenyum manis dan pura-pura malu-malu. “Oh kamu abangnya si Raffa ya.”

“Iya.” Alex mengangguk-angguk.

“Duuuuh, kalian ini abang-adek bibit unggul ya. Ganteng-ganteng dua-duanya.” Kata Misca.

“Hahaha, siapa dulu emaknya.” Kata gua.

“Pasti kamu suka fitnes juga ya?” tanya Misca kepada Alex.

“Iya, dari dulu kok, saya suka fitnes.”

“Euuuuh, pasti badan kamu kencang dan keras ya, hihihi... aku seneng banget sama yang keras-keras.”

“Hah?” gua melongo.

“Maksudnya tubuhnya keras dan kencang. Pasti orangnya sehat dan staminanya kuat. Pasti long lasting kaaaan.”

Evang menganga, sementara gua mengernyit dan abang gua mulai senyum-senyum mesum menatap Misca. Ini nggak bisa dibiarin.

“Udah mis, lo ambil tuh spidol warnya si Evan, trus balik sana ke habitat lo.” Kata gua yang mulai tidak nyaman akan kemungkinan Misca dan abang gua saling berhasrat untuk bercinta. Karena gua bisa melihat kemungkinan itu terjadi adalah 70%. Misca itu cantik dan langsing, sementara abang gua itu ganteng dan atletis. 100% gua yakin kalo mereka nggak bakalan saling tolak.

“Eh tunggu dulu. Gua kan lagi kenalan sama abang lo, Raff. Lo kok kesannya cemburu gitu gua kenalan ama abang lo. Kita kan nggak ada hubungan apa-apa.”

Kini gua yang menganga, sementara Evan udah garuk-garuk kepala stress.

“Kapan pulangnya, Lex?”

“Besok.”

“Waaah, that’s too baaaad.”

“Iya.”

“Ya udah deh, gua balik aja kalo gitu.” Kata Misca.

“Lo nggak jadi minjem spidol warna gua?” tanya Evan.

“Gua bikin mind mapnya besok aja ah, lagian spidol warna lo kan banyak yang udah nggak nyata lagi tintanya.”

“Wat?”

“Oh ya Van, elo kalo makan indomie gua saranin pake satu sosis sama telor dua. Gua paling suka tuh, cobain deh.” Kata Misca.

Dan seperti kedatangannya, Misca pun nyelonong pergi meninggalkan kamar kos.

“Wah, Raff, temen lo itu tuh, bener-bener bikin gua gelisah. Kalo sampe ketemu lagi gua sama dia, bisa jebol deh pertahanan gua.” Kata Alex.

“Yak elah bang, temen gua tuh, jangan lo caplok lah.”

“Lah, abisnya, dia mancing-mancing begitu ngomongnya.” Kata Alex.

Evan dengan lugu dan bodohnya mencoba satu-persatu spidol warnanya. “Apaan, orang masih pada nyata kok spidol gua, huuuu...”


Gua mengalami mimpi buruk. Gadis menikah dengan cowok selingkuhannya. Dia tertawa menyeringai menatap gua. Dan karena gua dilanda amarah, gua meledakan gedung tempat resepsi perkawinannya. Berikutnya gua melihat abang gua dan Misca sedang bercinta penuh birahi. Lalu berubah lagi, abang gua sedang dilayani sama Evan. Dimana Alex yang telanjang duduk di sofa sambil merokok dan Evan yang berlutut didepannya menghisap penis Alex. Lalu berubah lagi ketika gua melihat Gadis, cowok selingkuhannya, Misca, Evan dan Alex menertawai gua bersamaan. Mata gua pun terbuka pada jam 3 pagi.

Suasana tampak tenang. Gua melihat Evan tidur dengan nyenyak di kasurnya, sementara abang gua tidur disamping gua. Gua ingat, awal kita tidur, abang gua memeluk-meluk badan gua, mengasosiasikan tubuh gua sebagai bantal guling sambil berkata bahwa momen ini adalah hal yang ia rindukan. Tapi sekarang abang gua sudah tidur menghadap tembok. Gua sudah tidak lagi dalam pelukannya.

Gua kembali menutup mata gua. Berharap tidur gua kali ini lebih tenang.


Gua terbangun pada pukul 6 pagi. Menyadari bahwa gua sendirian di kamar. Kalo Evan gua yakin sekarang dia sedang lari pagi. Kalo Alex... di mana dia sekarang? Gua setelah berguling-guling sejenak untuk mengumpulkan nyawa akhirnya termotivasi untuk bangun dan keluar kamar. Pintu terbuka dan sinar matahari pagi menerpa wajah gua. Menyegarkan, walaupun bikin silau. Lalu berikutnya gua mendengar suara dua orang yang sedang mengobrol. Tidak jauh dari kamar kos gua, Alex dan Misca sedang ngobrol berdua disebuah kursi kayu panjang di balkon yang membelakangi matahari, dengan pakaian yang menurut gua lumayan membangunkan birahi. Misca mengenakan celana pendek dan kaos tank-top, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi serta tonjolan buah dadanya, serta Alex yang mengenakan kaos lengan pendek beserta celana pendek yang memperlihatkan paha putihnya yang kokoh.

Soal cowok, Misca dan Evan itu seperti satu spesies. Mereka nggak bisa nggak bereaksi kalo ngeliat ada cowok keren didekat mereka. Secara naluriah mereka akan menggelinjang. Salah satu contohnya adalah ketika kita bersama maka di tukang sate yang seksi itu. Bagaimana si Misca terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang menjurus. Dan kini, Misca sedang duduk berdekatan dengan Alex, yang adalah abang kandung gua, yang kebetulan sedang jomblo. Yang gua nggak setuju adalah umur mereka yang lumayan jauh, serta status mereka berdua bagi gua. Alex adalah abang gua, sementara Misca ada temen gua. Gua nggak berani membayangkan kalo mereka sampai telanjang berdua dan saling bercinta.

“Udah bangun lo bang?” gua bertanya sambil mendekat dan ikut duduk disebelah Alex.

“Setengah 6 tadi gua bangun, tadinya gua mau ikut si Evan lari pagi, Cuma mendadak males.” Alex menjawab, dan gua tau alasan kenapa dia mendadak males. Tuh, ‘alesannya’ sedang duduk disebelahnya.

“Tenang, Raff, tadi gua udah nyuruh si Evan beli nasi uduk untuk kita berlima. Si Nanda juga mau soalnya.”

“Terus mana orangnya?” tanya gua.

“Lagi mandi tuh, kan dia ada kelas pagi.”

Dan kebetulan sekali yang diomongin orangnya dateng. Nanda keluar dari kamar mandi dengan celana pendek dan kaos ketatnya, serta sambil mengeringkan rambut dengan handuknya.

“Eeeeh, si Raffa udah bangun, tumbeeeen... mimpi apa lo semalem memangnya?”

Gua teringat mimpi gua yang secara aneh mulai lupa detil-detilnya, lalu memutuskan untuk tidak membahasnya.

“Nggak mimpi apa-apa.” Jawab gua.

“Aaaaah, paling mimpiin mantan, hahaha...” Alex bercanda, dan secara tidak masuk akal si Misca tertawa sambil meletakan tangannya di paha Alex.

“Iya tuh, si Raffa emang suka agak-agak?” kata Misca. Gua mengernyit, apa sih maksudnya ini, kok pada nggak jelas.

Evan datang dari ritual lari paginya sambil membawa sekantong nasi uduk. Seperti biasa, dia tampak segar dan berkeringat.

“Aseeeek, akhirnya nasi uduk gua dateng.” Kata Nanda, “Kita makan di sini aja ya, tunggu gua ambil piring sama sendok dulu.”

“Sekalian gua, Nda.” Kata Misca.

“Gua juga deh.” Evan ikutan pergi ke kamarnya. Begitu kembali dia sudah tidak berkaos lagi. Sambil membawa tiga piring dan sendok. Nanda menyusul kemudian, masih dengan pakaian semula. Kita berlima pun makan bersama di balkon tersebut.


Pukul 3 sore, Alex baru saja selesai mandi. Dia kembali ke kamar kos di mana gua dan Evan sedang mengerjakan tugas (Evan menghentikan tugasnya ketika Alex masuk untuk menyaksikan Alex berpakaian). Alex kemudian menanggalkan celana pendeknya dan hanya dengan bercelana dalam saja ia mulai mengenakan kaos dan celana jeansnya. Kemudian setelah itu ia mengenakan sepatunya.

“Raffa, waktunya gua pulang nih.” Kata Alex setelah ia sudah siap.

“Aaaaah, gua masih kangen sama lo bang, yakin mau pulang sekarang?” kata gua yang nggak rela abang gua ini akan pergi lagi, walaupun Cuma buat pulang ke rumah.

“Iya bang, yakin mau pulang sekarang?” Kata Evan yang nggak rela abang gua pulang. Soalnya dia nggak bisa dapet cuci mata lagi.

“Hahaha, ya elah lo, ntar juga hari sabtu ketemu lagi di rumah.” Kata Alex. “Ya udah, gua balik dulu ya. Van, peratiin adek gua ya, tabok aja dia kalo macem-macem.” Kata Alex, sambil menyalam si Evan.

“Oh, itu sudah menjadi rutinitas saya, bang.” Kata Alex.

“Daaaan, Raffael my baby bro, yang rajin lo kuliahnya, biar cepet kelar, biar cepet kerja, terus biar cepet... ah lupakan saja.”

“Biar cepet kawin maksud lo?”

“Tapi kan elu baru putus, hahaha...”

“Hahaha, nyantai aja lagi.”

Alex menatap gua sejenak. “Great! Gua seneng elu udah bisa mulai move on sekarang.”

“Siapa dulu abangnya, hahaha.” Kata gua.

Dan kita berduapun berpelukan, lalu kemudian Alex pun pergi meninggalkan kamar gua. Meninggalkan gua dan Evan berdua di kamar.

“Baby bro?” kata Evan.

“Yup, kenapa? Abang gua sering manggil gua dengan sebutan itu.”

“Baby bro?”

“Yup!”

“Oke, kalo gitu gua juga bakalan manggil lo baby bro mulai sekarang.”

“Katanya fresh, kok pake nama yang udah ada.”

“Fresh-lah, orang gua baru denger.” Evan gengsi, seperti biasa. “Gimana, setuju?”

“Deal!” gua mengajak Evan berjabat tangan sebagai pernyataan persetujuan.

Misca mendadak masuk.

“Evaaaaan, gua pinjem spidol warna dooooong!”

“Ini diaaa...” kata Evan sambil memberikan seperangkat spidol warna dengan nyengir, karena dia tahu sebenarnya si Misca Cuma pengen ketemu Alex doang. “Spidol warna yang elu butuhkan, udah gua periksa satu-persatu dan masih nyata.”

“Raff, abang lo mana?” tanya Misca dengan mata menjelajah seisi kamar.

“Udah pulaaaaang.” Kata Evan semanis mungkin.

“Kapan?”

“Barusan.” Jawab gua.

Raut wajah Misca mendadak berubah bete. “Kalo gitu gua nggak jadi mijem spidol warna lo. Mendadak gua nggak mood lagi buat bikin mind map. Menyebalkan!”

Misca pun beranjak dari kamar gua dengan muka bete, sementara gua dan Evan saling tersenyum geli.



Bersambung ke Chapter 16

Tuliskan komentar anda mengenai cerita ini, dengan Facebook Comment dibawah ini.

4 comments:

hendy said...

wach, gak rela seandainya ALEX juga dipake oleh evan.
jangaaaaan
hehehee


BTW
bisa dpt email kamu bibbay?

aku ijin mau sadur cerita raffa dan evan boleh yaa

Rafael Kiddo said...

TO Hendy : Sorry, saya nggak memberikan izin kepada siapapun untuk mencopy-paste atau mengadaptasi atau menyadur cerita ini kemanapun atau dimanapun.

andreas said...

Thanx ya bibay007 gak tau deh lo dah invite gw ato gak yg penting gw dah bisa masuk ke blog km........thank

gw dah baca di BF.....yg coment dengan username jericho1.

Bagus banget ditunggu terus kelanjutanya.........

Unknown said...

bibay@ blh minta ijin ga. Cerita'y mw aye jdkan novel bt kenang2an gtu al'y crta'y bagus.....thx sblm'y

Post a Comment

Untuk yang sudah membaca cerita-cerita saya, mohon untuk menuliskan komentar anda. Entah berisi pujian, saran-kritik atau masukan dan hinaan. Karena itu akan membuat saya bersemangat untuk menulis dan menulis.
Janganlah menjadi silent reader yang cuma baca doang tapi gak mau komen. Itu bisa berakibat cerita ini akan dihentikan sewaktu-waktu.,