Chapter 16
Dan Itu Tulus dan Jujur...
“Raff, gua
diajak temen gua nih nonton live music. Ikut yuk.” Kata Evan. Gua dan Evan yang
sudah mandi sedang tidur-tiduran berdua diranjangnya Evan sambil menunggu
waktunya buat ngampus. Mengobrol apa saja sambil menatap langit-langit kamar kos.
“Konser gay ya?
Nggak ah, ntar gua diperkosa lagi di sana.” Kata gua yang langsung defensif
“Hidiih, pede
banget lu, Raff. Konser musik biasa kali, kaya pada umumnya. Lagian siapa juga
yang mau merkosa lo, cakep juga kagak.”
“You know, gua
bingung deh, perasaan Cuma elu doang orang yang nggak pernah bilang gua cakep.
Emang sejelek itu kah muka gua di mata lo, atau setinggi itukah selera lo akan
cowok cakep?”
Evan sok lugu dan tidak berdosa. “Yaaa
mau gimana lagi sih, emang pada dasarnya elo nggak cakep, Raff.”
“Haaaah, ngambek
ah gua...!”
Evan menatap wajah gua sambil
tersenyum, “Jiaaaaah, si Raffa ngambek, hahaha... nggak dibilang cakep ngambek,
hahahaha...”
“Lah lagi, elu
temen gua yang paling deket, tapi elu nggak pernah muji gua.”
“Uuuuh, my baby
bro, ngambek ya, uuuh tayang-tayang... sini, cium dulu.” Bibir Evan mulai
nyosor.
“Nggak-nggak-nggak!”
Bibir Evan terus berusaha
mencium bibir gua, namun gua terus berusaha menghindar.
“Nggak mau-nggak
mau-nggak mau!”
“Hahaha...” Evan
kemudian menyerah dan tertawa. “Udah ah, yuk siap-siap buat ke kampus.”
Evan bangkit berdiri dan mulai
berpakaian, hal yang sama juga gua lakukan. Setelah memakai sepatu dan siap,
kita berdua berangkat bersama menuju kampus.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Kampus siang ini
sangat panas. Panasnya udah masuk level jahanam, payung sekarang ini bahkan
sudah tidak digunakan lagi untuk penghalau hujan, tapi juga untuk penghalau
panas matahari. Gua, Margo, Misca, Nanda dan tentu saja Evan mengademkan diri
di kantin ber-AC yang luarbiasanya bisa merokok didalamnya. Kita sambil makan
siang sambil nyantai sebelum lanjut jalan-jalan entah kemana.
“Gila ya dosen
gua, nggak doseniawi banget deh, masa baru Minggu kemarin gua disuruh bikin
makalah, sekarang disuruh bikin lagi. Gua agak khawatir jangan-jangan dia punya
ketertarikan yang aneh terhadap makalah.” Kata Nanda setelah selesai menyantap
mie pangsit langganannya.
“Yak elah, itu
udah biasa kali, Nda.” Kata Evan sambil mulai merokok. “Dimana-mana dosen kan
biasa nyuruh mahasiswanya bikin tugas makalah.”
“Masalahnya
semester ini aja gua udah bikin lima makalah buat mata kuliah dia doang.”
“Buset!” Evan
kaget. “Itu mah nggak wajar tuh.”
“Itu dia.” Kata
Nanda.
“Seenggaknya elu
nggak seribet kita, Nda.” Kata Misca ikutan nimbrung. “Lah kita disuruh bikin
film pendek durasi 15 menit?”
“Lah, bukannya
enak?”
“Enak dari
hongkong.” Kata Margo.
“Enak pala lu.
Bikin film pendek itu ribet, Nda.” Misca menjelaskan. “Harus nyari talent lah,
bikin naskah, syuting, ngedit dan sebagainya. Kalo elu kan gampang, tinggal
copy-paste aja makalah orang. Ubah-ubah dikit, jadi deh.”
“Iya sih. Tapi
kan bikin film pendek itu seru. Fun.” Kata Nanda.
“Ya udah, kalo
menurut lo bikin film pendek itu fun, elo jadi talent kita aja.” Kata gua.
“Boleh... emang
kalian mau bikin film apaan?”
“JAV.”
Nanda langsung menggeplak kepala
gua. “Semprul, lo makan dulu nih meja sampe habis, baru gua mau main film JAV
bikinan lo.”
“Cowok di
mana-mana emang sama aja, cabul.” Kata Misca. “Nggak, Nda, bikin film yang
simple aja, yang ceritanya tentang sehari-hari.”
“Sehari-hari gua
nontonnya JAV.” Kata Margo. “Elo coba aja, Nda. Siapa tau elu bisa jadi The
Next Miyabi... Nandabi.”
“Eh gila deh lo
semua. Cabul abis.” Kata Nanda. “Elo cowok-cowok, ngomong cabul lagi gua lempar
teh botol nih.”
“Oke-oke, Nda,
kalem-kalem.” Kata Evan.
“Soal film kita
bahas nanti aja deh, masih tiga bulan ini kok tugasnya.” Kata Misca. “Ngebahas
yang laen yuk.”
“Oke.” Kata Evan,
ia meletakan rokoknya di asbak setelah menemukan topik. “Sekarang gua mau
nanya. Kalian, cewek-cewek, cantik-cantik, kok nggak pada pacaran sih?”
“Gua udah punya
pacar kaleeeee.” Jawab Misca.
“Siapa?” Tanya
Evan.
“Alex.” Misca
menjawab senyum senyum-senyum sendiri. “Kalo nggak si Tukang sate.”
“Punuk
merindukan bulan.” Jawab Evan. “Kaya mau aja abangnya si Raffa sama elo.”
“Lagian gua juga
nggak setuju kalo elu, Mis, jadian sama abang gua. Aneh aja rasanya.” Kata gua.
“Aneh gimana?”
“Umur kalian kan
lumayan jauh jaraknya.” Kata gua.
“Eeeeh, Raffa,
jarak umur gua sama abang lo tuh pas banget buat nikah.”
“Elu kenapa sih,
kok jadi terobsesi banget sama abangnya si Raffa.” Tanya Evan.
“Entah kenapa,
gua bisa melihat masa depan kalo sama abang lo Raff. Gua merasa si Alex bakalan
menjadi ayah dari anak-anak gua.”
“Wueks.” Kata Evan.
“Lebay.” Kata
Nanda.
“Nggak mungkin!”
Kata Margo.
“Elu pacaran aja
sama si Raffa, Mis. Dia kan udah putus sama cewek, udah avaliable tuh.” Kata
Nanda.
“Nggak ah...
bekas Gadis gitu logh. Gua nggak tertarik sama cowok bekas.” Misca menjawab sok
angkuh.
“Sialan lo.” Gua
merasa terhina lahir batin. “Bekas sih bekas, tapi performa gua setara mesin
baru.”
“Elo anggota
Transformers, Raff?” Tanya Margo.,
“Idiot.” Kata
Misca.
“Nah, elo
sendiri, Nda, kenapa elo nggak pacaran?” gua kini beralih ke si Nanda.
Nanda tampak senyam-senyum
seolah dia ketangkap basah nyolong sempaknya si Evan. “Gua emang lagi pengen
ngejomblo aja sih. Kalo single kan bisa bebas, mau ngapa-ngapain nggak ada yang
ribut nanyain.”
“Elu bukannya
satu untuk semua, ya Nda?” tanya Evan.
“Salome dong.”
Si Margo nyeletuk.
“Salome apaan?”
Nanda bertanya bingung akan istilah yang baru dia denger itu.
“Satu lobang
rame-rame.” Jawab si Evan yang kemudian diikuti dengan tawa.
“BANGSAAAAATTT...!”
Seru si Nanda nggak terima. “Bedebah lo semua. Dasar cowok-cowok cabul,
pervert! Margo sialan lo!”
“Hahaha...” kita
semua tertawa.
“Udah ah-udah
ah-udah ah, cabut yuk, jadi pada nonton nggak?” kata si Misca.
“Jadi lah...
film seru nggak boleh dilewatin. Nonton di mana?” tanya gua.
“Blitz GI aja
yuk..” Jawab Evan.
“Oke.” Gua
menyetujui.
Kita berlima pun beranjak dari
kantin yang semakin penuh dengan asap dan bergerak menuju ke Grand Indonesia
dengan menggunakan busway. Tidak ada kemacetan yang berarti dalam perjalanan
menuju Grand Indonesia, Cuma setengah jam yang dibutuhkan begitu kita turun di
halte Bundaran HI dan jalan sedikit menuju ke mall tersebut. Setelah tiba di
bioskopnya Evan dan Misca langsung ke loket tiket untuk memesan tiket dan
memilih posisi duduk yang enak. Sementara gua, Margo dan Nanda duduk-duduk di
lobi. Mendadak celana gua bergetar dan gua mengeluarkan ponsel gua. Ada SMS
dari Alex, katanya dia nanya stick PS 3 yang satu lagi gua simpen di mana.
Soalnya di rumah temen-temennya si Alex datang dan mereka pengen ngadu game
Winning Eleven. Begitu gua membalasnya ternyata SMS nya nggak kekirim dan
begitu gua cek ternyata pulsa gua habis.
Gua akhirnya pergi turun keluar
mall untuk mencari tukang jualan pulsa, tidak jauh dari pintu keluar mall
terdapat tukang jualan pulsa dan gua langsung membeli voucher pulsa seratus
ribu. Setelah mengisinya, gua diam sebentar untuk membalas SMS, lalu setelah
itu kembali masuk ke mall. Setelah menunggu di depan lift sebentar gua langsung
masuk begitu pintu lift terbuka, cukup seneng juga karena Cuma gua doang di
lift, jadi gua bisa langsung melesat ke lantai 8 kalo-kalo tidak ada yang naik
diantaranya. Sayangnya gua tidak sendirian lagi begitu lift berhenti di lantai
2, bahkan penumpang yang akan naik ini pun malah membuat gua semakin tidak nyaman
di lift tersebut.
Gadis muncul dari balik pintu
lift ketika pintu lift terbuka. Dia tertegun sejenak begitu melihat ada gua di
dalam lift tersebut, dia tampak ragu untuk berada satu lift bareng gua, namun
pada akhirnya dia melangkahkan kakinya juga masuk ke dalam lift. Begitu masuk
dia langsung menekan tombol lantai delapan yang dari sebelumnya sudah menyala.
Pintu lift tertutup dan kini gua berduaan sama mantan gua.
Entah kenapa perjalanan lift ini
menjadi terasa lambat sekali. Di sebelah gua ada cewek yang pernah dan masih
gua sayangi namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Ini benar-benar Awkward moment.
Tapi gua berusaha bersikap gantle dengan mengajaknya berbicara.
“Apa kabar?”
tanya gua, sambil menoleh menatap wajah cantik Gadis. Dia tampak agak kurusan
sekarang, namun dia tetap saja cantik dan mempesona. Seandainya gua masih
pacaran sama dia, mungkin udah gua cipok si Gadis dan kita akan berciuman
selama perjalanan lift tersebut. Sayangnya gua Cuma ngarep.
“Baik.” Gadis
menjawab tanpa memandang gua. “Kamu apa kabar?”
“Aku baik juga.”
Gua menjawab. “Kamu mau nonton juga?”
“Iya. Kamu
nonton sama siapa?”
“Aku sama Evan,
sama temen-temen kampus yang lain.”
“Oooh.”
Akhirnya... akhirnya! Pintu lift
terbuka dan gua bisa terbebas dan siksaan ruangan lift tersebut. Gadis keluar
duluan dan gua berjalan beberapa langkah dibelakangnya.
“Gadis!” Seru
Evan begitu menyadari Gadis sudah terlihat dimatanya.
Gadis melambai-lambaikan ceria
dan berjalan menghampiri Evan. “Bulekuuuu! Kamu apa kabar?”
“Baik gadisku...
elo sendiri gimana kabarnya? Elo mau nonton juga?”
“Kabar gua baik,
Van. Iya nih, gua juga mau nonton.”
“Sendirian aja?”
“Ya enggak lah.
Gila aja gua nonton di bioskop sendirian. Hahaha... Kebetulan banget ya bisa
ketemu di sini.” Jawab Gadis sambil duduk disebelah Evan. “Aduuuh, gua kangen
banget deh sama elo, Van.”
Gua duduk di
ujung yang lainnya, di mana Margo, Misca dan Nanda memperhatikan obrolan Gadis
dan Evan.
“Sama, udah lama
banget kita nggak kumpul-kumpul.” Kata Evan.
“Hahaha,
sekarang kan udah susah, Van.” Jawab Gadis, dan gua mengerti maksudnya. Dia
kemudian menatap layar ponselnya sebentar sebelum kemudian berbicara lagi. “Ya
udah, gua duluan ya Van, film gua udah mau mulai nih. Bye-bye Evaaaaan...”
Dan Gadis pun beranjak dari
tempat duduknya dan pergi. Gua terus memperhatikan sampai sosok si Gadis tidak
tampak lagi.
“Itu mantan lo,
Raff?” tanya Misca begitu Gadis sudah tak terlihat.
Gua hanya mengangguk-anggukan
kepala.
“Cantik ya,
Raff. Kok elo bisa putus sih sama dia?” kata Nanda.
“Ribet gua
ngejelasinnya.”
“Ah bilang aja
elu selingkuhin dia.” Kata Misca.
“Sok tahu.”
“Ckckck...
Raaaff-Raff, elu tuh ye. Rugi lo putus sama tuh cewek.” Kata Margo. “Kalo gua
jadi lo mah bakalan gua kejar lagi tuh cewek, gua ajak balikan lagi. Cewek
secantik itu elo putusin, rugi lo!”
“Gua udah
bilang, gua putus sama dia itu karena masalahnya ribet. Gua males
ngejelasinnya.”
“Ah repot lo
jadi orang. Susah amat sih tinggal minta maaf dan ngajak balikan lagi.” Kata si
Margo.
“Udah lah, nggak
usah bahas dia lagi. Ntar jadi galau gua.” kata gua.
Temen-temen gua malah pada
senyam-senyum nggak jelas.
“Kayanya pintu
studionya udah dibuka deh, masuk yuk.” Ajak si Nanda.
Kita berlima pun beranjak dari
lobi dan pergi ke studio 9. Ada sedikit rasa penasaran dalam diri gua di studio
mana Gadis berada, film apa yang dia tonton, dan sama siapa dia menontonnya. Sekali lagi gua mengakui, gua belum siap kehilangan Gadis.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Pukul 7 malam
gua dan Evan sudah tampil keren. Gua dengan celana Jeans, kemeja kotak-kotak
serta jaket cokelat dan sepatu Converse all star gua, sementara Evan dengan
celana Jeans, kaos V-Neck krem hijau polos dipadukan dengan jaket Jean dan
sepatu. Kita berdua tampak keren dan kece. Kita pun berangkat menuju kafe
tempat temannya si Evan manggung. Ternyata kafe cukup elit yang kita datangin.
Untung aja yang manggung itu temannya si Evan sehingga kita bisa dapet minuman
dan makanan gratis, kalo nggak kita berdua bisa bingung mau pesen apaan.
Kita dapet tempat duduk di pinggiran, temannya si Evan yang manggung itu
ada di posisi gitaris. Begitu duduk kita langsung disajikan minuman dan disuruh
memesan makanan. Berhubung kita udah makan, maka kita mesan makanan ringan aja.
Dan band temannya si Evan pun mulai bermain. Lagu-lagu yang mereka bawakan
rata-rata merupakan lagu-lagu yang lagi ngetren sekarang-sekarang ini. Jenis
lagu yang mereka bawakan cenderung pop, walau ada rasa-rasa Jazz atau soul-nya.
“Gua tau, Van
alasan kenapa elo mau diajak temen lo nonton mereka manggung. Pasti elo pengen
ngeliat vokalisnya, ya kan?” tanya gua sambil mengajak Evan melihat vokalisnya
yang tampak ganteng dan imut.
“Enak aja,
pikiran elo tuh negatif mulu sama gua. Gua ke sini emang karena diajak temen
gua.” Jawab Evan.
“Hahaha... udah
sih, jujur aja sama gua, Van.” Kata gua.
“Sotoy...”
“Tapi kalo
dikasih nomor hapenya elo nggak nolak kaaaan?” gua kembali menggoda Evan.
“Iya sih,
hehehe...” Evan menjawab diikuti dengan cengiran.
“Hahaha...”
Kita berdua menikmati penampilan
dari band temannya Evan tersebut. Temannya pun sempat turun sebentar untuk
menyapa kita berdua saat jeda. Kita ngobrol bertiga selama beberapa menit
sebelum temannya harus kembali manggung lagi. Dan pada saat ngobrol Evan
mengambil kesempatan untuk menanyakan siapa nama vokalisnya. Evan pura-pura
merasa kaya pernah kenal sama si vokalis, padahal emang bisanya dia aja.
Entah kenapa begitu sesi
manggung berikutnya, lagu-lagu yang dibawakan oleh band ini cenderung lagu-lagu
galau. Lagu-lagu orang patah hati, dan mereka sukses membuat gua galau selama
satu setengah jam berikutnya. Sementara Evan memanfaatkan status “Temannya
anggota band” dengan beberapa kali order makanan ringan. Dan gua juga cukup
merasa bahagia dengan alasan Evan sering order cemilan.
“Nih, elo makan
deh, baby bro. Biar elo nggak bengong galau begitu. Kasihan gua sama lo.” Kata
Evan.
Gua menerima
sepiring kentang goreng dengan senyuman dan menyantapnya dengan santai,
walaupun rasa galau masih saja menguasai diri gua. Apa mungkin ini efek dari
gua ketemu sama Gadis tadi siang, sehingga bayang-bayang Gadis dan hubungan gua
dengannya kembali menyeruak keluar.
Evan juga dengan baik hatinya
mengajak gua ngobrol atau mendengar curhatan gua soal si Gadis, yang mungkin
untuk Kesekian kalinya dia dengar. Namun Evan dengan sabarnya mendengarkan dan
memberikan masukan serta tanggapan yang sewajarnya. Entah bakalan gimana gua
kalo gua harus bergalau sendiri tanpa Evan ada di samping gua. Dia benar-benar
menyayangi gua, dan gua juga menyayangi dia.
Kira-kira pukul setengah dua
belas malam akhirnya temannya Evan selesai manggung. Para tamu yang hadir pun
sudah mulai beranjak pulang. Gua dan Evan masih ingin sedikit berlama-lama di
kafe tersebut, masih mencoba menetralisir kegalauan gua sampai ke tahap gua
bisa tenang lagi.
Temannya Evan tampak sudang
turun dari panggung dan pergi entah kemana. Tinggal vokalisnya serta drumernya
aja yang masih di panggung. Gua menatap panggung dengan tatapan kosong untuk
beberapa saat, sampai gua menyadari kalo vokalis band tersebut berjalan ke arah
kita berdua. Evan tampak sumringah, sepertinya si vokalis bakalan ngajak
kenalan si Evan, tapi itu semua buyar dalam sekejap begitu tahu kalo vokalis
band yang ganteng dan cute menurut Evan tersebut mendekati gua sambil
memberikan secarik kertas. Gua menerimanya dengan bingung, di kertas tersebut terdapat
sebuah nomor telepon. Sang vokalis tersebut kemudian memperagakan gaya “telepon
aku” sambil berjalan menjauh. Si Evan hanya bisa menganga melihat kejadian
tersebut.
Hal ini cukup menghibur gua.
Melihat ironi yang sedang terjadi ini. Evan lah yang berharap bisa dapet nomor
telepon si vokalis, tapi nyatanya gua yang didatangi si vokalis dan diberikan
nomor teleponnya, dia pun berharap gua meneleponnya lagi, hahaha...
“Ini nggak
adil!” cibir Evan dengan muka sebal.
“Seenggaknya tuh
cowok bisa liat mana cowok yang ganteng, mana yang enggak.”
“Emang elo
bakalan nelepon tuh cowok?” tanya Evan sangsi, masih gak terima akan kenyataan
pahit ini.
“Ya enggak lah,
kalo elo mau telepon, nih nomornya.” Kata gua sambil memberikan kertas tersebut
ke Evan.
“Nggak perlu.”
“Hahaha, ngambek
lo? Hahaha... emang enak.” Gua mulai terhibur sekarang.
“Cabut yuk!”
Evan berdiri duluan dan tidak peduli.
Kita berdua pun meninggalkan
kafe tersebut untuk pulang.
*** verterusvoso.blogspot.com ***
Selama jalan
pulang kita berdua terus-terusan bercanda, segala kita jadikan bahak lelucon,
sampai mendadak hujan secara gaib tturun membasahi bumi pertiwi. Sontak kita
berdua mencari tempat berteduh, sayangnya butuh lebih dari semenit bagi kita
berdua untuk mencari tempat teduh sampai akhirnya kita terpaksa masuk ke sebuah
rumah bertingkat yang sudah kosong dan terabaikan.
Awalnya kita
berdua rada-rada takut, kemudian dari takut menjadi ragu, dan dari ragu menjadi
coba-coba. Kita akhirnya masuk ke rumah tersebut. Fakta lain yang muncul adalah
untungnya bukan kita aja yang neduh di rumah tersebut, ada beberapa orang dan
pengendara motor yang berhenti untuk berteguh di rumah tersebut. Mungkin efek
dari cukup banyak orang di sana sehingga perasaan takut perlahan-lahan sirna.
Niatnya Cuma buat neduh, tapi
begitu melihat sudah ada lebih dari sepuluh orang yang ikutan nimbrung Evan
mengajak gua kelantai dua. Sambil mengendap-endap kita berdua naik ke lantai
dua. Berusaha tidak membuat suara supaya orang-orang yang berteduh didepan
tidak melihat Kepergian kita berdua.
Diatas rupanya sedikit lebih
baik. Kita memutuskan untuk duduk di balkon yang menampilkan pemandangan
gedung-gedung Jakarta yang menjulang tinggi. Kalo siang mungkin hanya akan
terlihat seperti gedung-gedung biasa. Namun kalo malam berubah menjadi
pemandangan urban cantik dan indah. Lampu-lampu gedung-gedung tersebut menyala
memberikan tampilan seperti bintang-bintang yang tersusun berkelompok walaupun
acak, ditambah lampu-lampu dari perumahan warga yang seperti hamparan bintang
yang cantik. Semua itu memberikan kita berdua pemandangan kota Jakarta pada
malam hari yang luar biasa. Minus hujan.
“Keren ya
pemandangannya.” Kata gua masih menatap ke arah gedung-gedung tersebut.
“Iya...” jawab
Evan.
Kita berdua pun duduk di lantai
balkon tersebut. Saling berdempetan. Menatap kearah pemandangan urban didepan.
“Kayanya bakalan
lama nih hujannya.” Kata Evan.
“Kita pun
kayanya nggak bakalan dapet angkot buat pulang.” Gua menyambungnya.
“Tapi biarin aja
lah, kan ada elo yang nemenin gua.” kata Evan.
Gua tersenyum menatap Evan yang
masih terus menatap ke depan.
“Kalo kita
terpaksa nginep di sini gimana, Van?”
“Nggak apa-apa.
Gua nggak takut setan kok. Yang gua takut Cuma kesepian aja.”
“Kan ada gua.”
Sebuah senyum terbentuk di bibir
Evan. “Itu dia, makannya gua nggak takut untuk bermalam di sini.”
Kita berdua kembali terdiam
menatap ke depan. Hujan masih saja deras mengguyur dan kita berdua semakin
merapatkan badan.
“Elo beneran
nggak mau nomor telepon si vokalis?” tanya gua.
“Kagak ah... tuh
cowok kan datengnya ke elo. Artinya dia tertarik sama elo.” Kata Evan.
“Tapi kan gua
nggak mungkin nelepon tuh cowok.”
“Ya kalo gitu,
ada maksud lain kali. Siapa tau tuh orang mau bicara sesuatu sama lo.” Kata
Evan.
“Yeah, mungkin
aja, tapi mau ngomong apaan? Gua kenal sama dia aja enggak.”
Evan mengangkat kedua bahunya.
“Meneketehe.”
“Hahaha...” gua
tertawa kecil. “Lagian, gua nggak perlu ada cowok homo lagi yang ngedeketin
gua. Elo aja nggak habis-habis, masa gua masih nyari yang lain.”
“Sialan lo,
hahaha... lo kira gua kue.” Kata Evan sambil menyenggol badan gua.
Kita berduapun tertawa kecil,
dan lalu kembali terdiam. Menikmati suasana yang mulai dingin, menikmati hujan
yang perlahan-lahan berubah menjadi gerimis kecil, menikmati saat-saat gua dan
Evan berdua saat ini. Entah kenapa suasananya berubah menjadi romantis.
“Van... gua
seneng malam ini.” Sebuah kalimat yang merupakan hasil dari akumulasi perasaan
gua malam ini muncul keluar.
“Sama, Raff, gua
juga seneng malam ini.”
“Gua seneng, elo
bareng gua saat ini. Gua juga mau ngucapin makasih pas waktu di kafe elo mau
dengerin gua yang lagi galau.” Gua berkata dengan tulus.
Evan kembali tersenyum manis,
seolah dia ikut merasa bahagia dan puas telah menjadi orang yang selalu ada
buat gua. “Gua bahagia kalo elo bahagia, Raff.”
“Thanks, Van.”
Dan sebuah dorongan hati yang
tiba-tiba saja muncul membuat gua mendaratkan bibir gua dipipi Evan. Evan
kemudian menoleh menatap gua setelah ciuman tersebut dan tidak ada yang bisa
gua lakukan selain membisikan kalimat; “Makasih Van, elo udah baik sama gua.”
Lagi-lagi senyum kebahagiaan
yang sama tersirat di wajah Evan. Perasaan yang bahagian pun juga muncul didiri
gua. Untuk segala alasan dan sebab, saat ini gua merasa nyaman berdua dengan
Evan, gua merasa bahagia bersama Evan, gua merasa senang berada disisi Evan
sekarang ini. Untuk beberapa saat, kita menikmati malam ini dalam diam yang
menenangkan dan membahagiakan.
“Raff...” kata Evan
setelah beberapa lama keheningan yang mendamaikan.
“Apa, Van?”
Evan menolehkan wajahnya ke gua,
menatap mata gua dalam-dalam. Masih diam sejenak dan masih menatap gua. Seolah
apa yang akan dikatakan berikutnya membutuhkan perhatian khusus dari gua.
“Gua cinta sama
lo.”
Kalimat itu akhirnya terucap lembut dari bibir Evan.
Gua terpaku.
Kita berdua masih saling bertatapan. Kata-kata Evan seperti menggema dalam diri
gua. Seperti meresap ke dalam relung-relung jiwa gua. Memaksa menerobos ke
dalam hati gua dan menempatkan dirinya dalam salah satu ruang hati gua. Mencoba
untuk tinggal dan tidak akan pernah pergi.
Tatapan mata Evan yang tulus dan serius, ucapannya yang jujur dan tulus,
semua menyatu dalam keadaan ini. Yang anehnya membuat gua cuma terpaku untuk
beberapa saat sebelum kemudian hanya sebuah senyum yang muncul di bibir gua.
Gua tahu Evan mengharapkan yang lebih, tapi masih ada perasaan dan logika yang
menahan kebebasan gua dari belenggu tradisi dan kodrat. Gua masih belum bisa
mengucapkan hal yang sama terhadap Evan. Maka hanya senyum saja yang bisa gua
berikan untuknya. Untuk orang yang gua sayangi, untuk orang yang sudah
mendapatkan tempat yang istimewa di hati gua, untuk orang yang sudah bernyali
besar merusak tatanan hidup gua, untuk orang yang sudah berjuang dan sabar
mendapatkan gua, untuk orang yang sudah melangkah masuk ke dalam kehidupan gua
dan tidak berniat pergi.
Evan pun tersenyum, merasa bahwa memang ini yang hanya bisa gua berikan.
Tidak tampak kekecewaan dalam dirinya, tapi lebih kepada perasaan puas dan
lega. Dan berikutnya adalah hal yang tidak dapat lagi gua tolak. Evan
mendekatkan bibirnya, menutup matanya dan mencium bibir gua. Kita berciuman.
Ciuman ini hangat... lembut... dan saling menanggapi. Gua membalas ciuman
Evan dan Evan membalas ciuman gua. Mata kita saling menutup. Saling menikmati
momen-momen indah ini. Kita terus berciuman, saling menenggelamkan diri dalam
rasa sayang dan cinta. Dan setelah semua dirasa cukup, kita menghentikannya.
Mata kita masih saling bertatap, senyum pun muncul kemudian. Dan kita
kembali menatap pemandangan urban malam yang indah.
“Makasih Raff,
udah mau menerima gua apa adanya.” Kata Evan.
“Nggak perlu
bilang makasih, Van.” Kata gua. “Elo udah menjadi bagian dari hidup gua. You
are my baby bro.”
Evan menyenderkan kepalanya
dibahu gua. Walaupun gua tidak melihat, tapi gua bisa merasakan senyum akan
terus terpancar dari wajah Evan. Gua hanya akan menambahkan lagi kebahagiannya
saat ini. Gua genggam tangannya dan ia menanggapinya dengan genggaman yang
lebih erat.
“Dingin ya, Raff...”
Kata Evan.
“Ya iyalah,
sekarang jam satu pagi dan masih gerimis, Van.”
“Oh iya ya,
hehehe...”
Evan tertawa kecil karena
kebodohannya. Gua mengecup lembut kepala Evan dengan penuh kasih sayang karena
rasa sayang gua. Kita pun akhirnya memutuskan untuk bermalam di sini sampai
matahari pagi muncul. Memutuskan untuk terus menikmati momen-momen ini sampai
pagi tiba. Karena kita berdua tahu, masing-masing tidak ingin saat-saat ini
cepat berakhir. Semuanya terasa indah, terasa nyaman dan terasa menyenangkan.
Kita berdua menikmati malam ini.
“Gua bahagia
saat ini, Raff.”
“Gua juga.”
Dan itu tulus dan jujur...
Bersambung Ke Chapter
17
Tuliskan komentar anda mengenai cerita ini, dengan Facebook Comment dibawah ini.
8 comments:
wow
Lagi.... Lagiii...
thx ngt udah nulis cerita raffa & evan.. ceritanya bagus bgt. gara2 cerita ini, gw jd bener2 terbuka dan mikir lagi. thx ya buat penulisnya.. terus berkarya... gw tungguin kisah selanjutnya
Romantisnya kasih sayang. . . .nyentuh bgt
im gonna cry ...
so romantic ...
lanjutin bang :')
Cool story bro :) gw baca dari pertama sampe chapter 16 ini cuma setengah hari. Gak sabar pengen baca chapter 17
Jujur gw gk terlalu sering baca cerita dng tema gay tp buat yg ini gw harus blg klo gw addicted. ceritanya bgt indah dan romantis meski mungkin sulit klo di temui di kehidupan nyata
Oh ya saran gw mending segera di terbitkan deh pasti bakal jadi best seller dan di bikinin film juga deh :)
Keep the good work!
Hi bang,sorry telat ya bukanya..huhu...
Aku pas baca ending part ini lgsung kluar air mata.. XD
Kalo ini di bikin Film gw pasti bakal beli langsung...and pengen ketemu sama raffa and evan jadinya..#sambilngarep
Post a Comment
Untuk yang sudah membaca cerita-cerita saya, mohon untuk menuliskan komentar anda. Entah berisi pujian, saran-kritik atau masukan dan hinaan. Karena itu akan membuat saya bersemangat untuk menulis dan menulis.
Janganlah menjadi silent reader yang cuma baca doang tapi gak mau komen. Itu bisa berakibat cerita ini akan dihentikan sewaktu-waktu.,